Hukum Cinta Beda Agama dan Nikah Siri Menurut Agama Islam
Jakarta | Kabarmetronews.com – Kisah cinta beda agama Zainab RA, putri sulung Rasulullah SAW, dan Abul ‘Ash bin Rabi’, seorang pemuka Quraisy. Mereka sempat terpaksa berpisah karena hukum Islam melarang wanita muslim menikah dengan laki-laki kafir.
Kisah bermula sebelum Rasulullah SAW menerima wahyu kenabian. Diceritakan dalam Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam edisi Indonesia terbitan Qisthi Press, Khadijah RA istri Rasulullah SAW meminta agar Rasulullah SAW menikahkan Abul ‘Ash dengan Zainab RA. Abul ‘Ash adalah seorang tokoh Makkah yang diperhitungkan dari segi harta, sifat amanah, dan bisnisnya. Ia adalah putra Halah binti Khuwailid, saudara Khadijah RA.
Rasulullah SAW kemudian menikahkan putri sulungnya itu dengan Abul ‘Ash. Tatkala Allah SWT menurunkan wahyu kenabian kepada Rasulullah SAW, Khadijah RA dan putri-putri Rasulullah SAW beriman kepadanya, mereka membenarkan, bersaksi kebenarannya, dan memeluk Islam. Sedangkan Abul ‘Ash tetap pada kemusyrikan.
Diceritakan dalam Ummu Al-Mukminin Khadijah binti Khuwailid: Al-Mitslu Al-A’la li Nisa’i Al-‘Alamin karya Ibrahim Muhammad Hasan Al-Jamal yang diterjemahkan Tubagus Kesa Purwasandy, Zainab RA kala itu tetap tinggal bersama suaminya meski berbeda keyakinan. Hingga pada suatu ketika tibalah perintah hijrah ke Madinah usai Rasulullah SAW menjalani dakwah yang sangat sulit di Makkah.
Rasulullah SAW bersama kaum muslim pun hijrah dari Makkah ke Madinah. Zainab RA tak diizinkan Abul ‘Ash dan keluarganya meninggalkan Makkah. Bahkan, ia menjadi satu-satunya muslimah yang tinggal bersama kafir Quraisy di Makkah hingga meletusnya Perang Badar.
Zainab RA dibuat gelisah bukan main saat Perang Badar meletus. Bagaimana tidak? Perang kaum muslimin melawan kafir Quraisy itu melibatkan dua orang tercintanya, sang suami dan ayahnya. Abul ‘Ash berada di pihak musuh melawan Rasulullah SAW.
Zainab RA hanya bisa berdoa agar Allah SWT memberikan kemenangan kepada kaum muslimin, tapi di sisi lain ia juga berharap suaminya dijauhkan dari bahaya dan mendapat hidayah memeluk Islam.
Kaum muslimin pun memenangkan peperangan dan Abul ‘Ash menjadi salah satu tawanan. Abul ‘Ash bisa bebas jika ada yang menebusnya.
Zainab RA kemudian mengirim uang tebusan dan sebuah kalung pemberian ibunya. Melihat hal itu, Rasulullah SAW terharu, air mata pun menetes di pipi beliau. Para sahabat tak kuasa melihat duka Rasulullah SAW. Mereka sepakat membebaskan Abul ‘Ash tanpa membayar tebusan.
Rasulullah SAW pun membebaskan Abul ‘Ash dan memintanya menceraikan Zainab RA. Sebab, wanita mukmin tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir.
Cobaan Zainab RA tak hanya berhenti sampai di situ. Setelah diceraikan Abul ‘Ash, dalam perjalanan ke Madinah, ia mengalami keguguran usai terjatuh karena orang-orang Quraisy mengganggu untanya.
Usai kejadian itu, Zainab RA sakit-sakitan dan lukanya sulit diobati. Hingga akhirnya, Allah SWT memberikan hidayah kepada Abul ‘Ash untuk memeluk Islam. Pada tahun ke-7 Hijriah, Abul ‘Ash menyusul Zainab RA ke Madinah.
Kedatangan Abul ‘Ash disambut baik oleh keluarga Rasulullah SAW. Kebahagiaan Zainab-Abul ‘Ash pun merekah. Qadarullah itu tak berlangsung lama. Zainab RA wafat pada tahun 8 Hijriah.
Selain kisah cinta beda agama Zainab RA dan Abul ‘Ash, hukum nikah siri juga menarik perhatian publik karena keberadaan praktik nikah siri menimbulkan berbagai pandangan kontroversial baik dari segi hukum negara, agama, maupun dampak sosial di masyarakat.
Dijelaskan dalam buku Nikah Siri: Menjawab Semua Pertanyaan tentang Nikah Siri karya Yani C. Lesar, istilah nikah siri berasal dari bahasa Arab az-zawaj as-siri yang artinya pernikahan yang dilangsungkan secara tersembunyi atau rahasia.
Pernikahan jenis ini tidak diumumkan dan tidak didaftarkan secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) atau lembaga negara. Sehingga secara hukum negara, dianggap tidak sah.
Sementara dalam hukum Islam, nikah siri dianggap sah apabila memenuhi syarat dan rukun pernikahan Islam, di antaranya ada wali nikah, calon mempelai pria dan wanita, terlaksananya ijab qabul dan disaksikan dua orang Islam laki-laki.
Perkara yang lebih baik dalam hal ini adalah apabila memungkinkan, sebaiknya umat Islam melangsungkan pernikahan secara resmi agar terhindar dari berbagai mudharat atau dampak negatif yang mungkin muncul setelah pernikahan, baik dari sisi hukum maupun sosial. (@red).