September 8, 2024

kabarmetronews.com

Selalu Ada & Terpercaya

Polemik RUU Penyiaran dan Urgensi Atas Perevisian UU Penyiaran Berdasarkan Tujuan dan Kegunaan

5 min read
Foto : Ilustrasi (istimewa).

Bangkalan | Kabarmetronews.com – UU Penyiaran saat ini belum dapat dijalankan dengan maksimal. Masih banyak ditemui permasalahan dalam penerapan undang-undang tersebut. Permasalahan ini kemudian mengakibatkan belum terciptanya kepastian hukum bagi masyarakat dalam melakukan kegiatan penyiaran.

Berdasarkan apa yang dikemukan diatas, maka permasalahan yang akan diangkat dalam tulisan ini yaitu:
1. Polemik RUU penyiaran uu no 32 tahun 2002,
2. Urgensi atas perevisian uu penyiaran Tujuan dan Kegunaan

Adapun tujuan dari penulisan ini yaitu untuk mengkaji mengenai urgensi dari perubahan UU Penyiaran dan juga sebagai masukan dalam pembahasan perubahan UU Penyiaran dan UU Pres

Terdapat perluasan cakupan wilayah penyiaran dari media konvensional seperti TV dan radio, menjadi penyiaran digital. Alhasil, latform digital layanan over the top (OTT) atau tv streaming seperti Netflix dan platform lainnya harus tunduk pada UU Penyiaran yang baru.

Seperti di ketahui bersama DPR terus mematangkan pembahasan revisi UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Namun dikhawatirkan nasib RUU tentang Penyiaran malah berpotensi mengekang hak publik dalam mengakses konten penyiaran yang beragam. Karenanya dibutuhkan pendalaman lebih jauh.

Perubahan ini dinilai dapat mengancam kebebasan pers penyiaran dan kreativitas di ruang digital. Selain itu, pengaturan secara luas tersebut menimbulkan permasalahan karena terdapat perbedaan karakteristik media dan teknologi. Memasukkan platform digital dalam definisi penyiaran membuat konten digital harus patuh pada aturan-aturan yang sama dengan aturan TV konvensional, padahal medium dan teknologinya berbeda.

Ini tidak tepat karena platform digital memiliki logika teknologi yang berbeda dengan TV atau radio terestrial. salah satu yang menjadi perhatian dalam draf RUU Penyiaran yaitu ketentuan Pasal 56 ayat (2) yang berisi larangan atas berbagai jenis konten penyiaran, baik konvensional maupun digital.

Larangan-larangan ini mencakup tayangan terkait narkoba, perjudian, rokok, alkohol, kekerasan, atau unsur mistik. Beberapa jenis konten yang dilarang pun dinilai multi-interpretasi, sehingga rentan untuk digunakan secara semena-mena. Larangan-larangan ini berpotensi mengekang hak publik untuk mendapat konten yang beragam. Padahal di platform digital publik memiliki agensi lebih besar untuk memilih dan menyaring tontonan, berbeda dengan penyiaran konvensional.

Draf RUU Penyiaran memuat larangan atas tayangan yang menampilkan suatu profesi atau tokoh yang memiliki perilaku atau gaya hidup negatif, dan larangan atas rekayasa negatif informasi dan hiburan. Ketentuan ini sangat multitafsir, dan oleh karenanya berpotensi disalahgunakan.

Sementara itu, Pengurus Nasional Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Bayu Wardhana menyampaikan konsekuensi lain dari perluasan dalam RUU Penyiaran adalah kewajiban produk jurnalisme penyiaran untuk tunduk pada aturan KPI. Hal ini dinilai dapat menyebabkan tumpang tindih kewenangan. Sebab selama ini produk jurnalisme diatur dan diawasi oleh Dewan Pers sebagaimana mandat UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers.

Pada pasal 25 ayat 1q disebutkan wewenang menangani sengketa jurnalistik hanya oleh KPI. Padahal selama ini kasus sengketa jurnalistik di penyiaran selalu ditangani oleh Dewan Pers. Draf RUU Penyiaran mempunyai tujuan mengambil alih wewenang Dewan Pers dan akan membuat rumit sengketa jurnalistik.

Selain itu, Pasal 56 ayat (2) dalam draf RUU Penyiaran juga memuat larangan atas penayangan eksklusif jurnalistik investigasi (huruf c), sehingga klausul ini dinilai dapat mengancam kebebasan pers.

Pasal ini membingungkan. Mengapa ada larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi? Tersirat ini membatasi agar karya jurnalistik investigasi tidak boleh ditayangkan di penyiaran. ???

Sebuah upaya pembungkaman pers sangat nyata. proses RUU Penyiaran dinilai terburu-buru dan tidak transparan.

Bayu mengingatkan bahwa draf RUU harus dibahas ulang dengan melibatkan lebih luas aktor mengingat masih terdapat banyak pasal bermasalah yang berpotensi mematikan kreativitas di ruang digital. Dia mengatakan, pasal yang mengancam kebebasan pers pun perlu segera dicabut.

Pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers harus dihapus dari draft RUU ini. Jika hendak mengatur karya jurnalistik di penyiaran, sebaiknya merujuk pada UU Pers No 40/1999. Pada konsideran draft RUU ini sama sekali tidak mencantumkan UU Pers.

Anggota Komisi I DPR RI Dave Akbarshah Fikarno menilai bahwa UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang eksis saat ini belum mengakomodasi perkembangan teknologi terbaru. Maka dari itu, RUU Penyiaran menjadi suatu hal yang urgen. Terlebih, revisi UU 32/2002 telah lama tertunda.

UU penyiaran yang disahkan pada tahun 2002 belum mengakomodasi perkembangan teknologi saat ini. Sejak tahun 2011 atau 2012, upaya revisi terus berjalan tanpa titik terang.

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, Kami menolak RUU Penyiaran. Kami menghormati rencana revisi UU Penyiaran tetapi mempertanyakan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 justru tidak dimasukkan dalam konsideran RUU Penyiaran.

Adapun hal-hal yang menjadi perhatian Dewan Pers adalah, Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, beserta jajaran dan konstituen dalam konferensi pers terkait RUU Penyiaran di Kantor Dewan Pers, Dewan Pers menolak draf Rancangan Undang-Undang Penyiaran atau RUU Penyiaran, melalui jumpa pers yang digelar di Gedung Dewan Pers, Jl. Kebon Sirih, Jakarta, Selasa, 14 Mei 2024. RUU ini merupakan inisiatif DPR yang direncanakan untuk menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menyampaikan bahwa upaya merevisi sebuah undang-undang merupakan hal yang biasa. Namun, Dewan Pers menilai beberapa pasal dalam RUU tersebut bertabrakan dan kontradiktif dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Kami menolak RUU Penyiaran. Kami menghormati rencana revisi UU Penyiaran tetapi mempertanyakan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 justru tidak dimasukkan dalam konsideran RUU Penyiaran,” kata Ninik Rahayu, dalam jumpa pers di Kantor Dewan Pers, Jakarta, Selasa, 14 Mei 2024.

Menurut Ninik, jika RUU Penyiaran nanti diberlakukan, maka tidak akan ada independensi pers. Pers pun menjadi tidak profesional. Dia juga mengritik penyusunan RUU tersebut yang tidak sejak awal melibatkan Dewan Pers dalam proses pembuatannya.

Ninik menambahkan, dalam ketentuan proses penyusunan UU harus ada partisipasi penuh makna (meaningful participation) dari seluruh pemangku kepentingan. Hal ini tidak terjadi dalam penyusunan draf RUU Penyiaran.

Oleh karenanya Dewan Pers bersama konstituen menolak revisi RUU Penyiaran ini karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kemerdekaan pers.

Adapun hal-hal yang menjadi perhatian Dewan Pers adalah sebagai berikut, Dalam draf RUU Penyiaran ada upaya untuk membedakan antara produk jurnalistik oleh media massa konvensional dengan produk serupa oleh yang menggunakan frekuensi telekomunikasi. Dalam pasal 1 UU Pers dijelaskan, bahwa penyampaian informasi dari kegiatan jurnalistik dilakukan dalam bentuk media cetak, elektronik, dan semua saluran yang ada.

Di sini jelas tidak ada pembedaan antara produk jurnalistik satu platform dengan platform lainnya, Draf RUU Penyiaran menyebutkan ditempuhnya mediasi (oleh KPI) jika terjadi sengketa. Itu hanya mungkin dilaksanakan untuk siaran nonberita. Jika dilakukan juga mediasi untuk sengketa pemberitaaan, maka hal ini seolah menafikan keberadaan pasal 15 ayat (2) tersebut, khususnya huruf c dan d UU Pers.

Sedangkan sudah jelas UUD 1945 Pasal 28E ayat 3 setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat dan pasal 28F menerangkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Namun, bentuk kebebasan hak ini sifatnya tidaklah mutlak, melainkan batasannya diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Apakah ini adalah sikap dari pemerintah terkait atas RUU ini untuk meruntuhkan semangat reformasi 1998 hanya untuk menciptakan orde baru jilid 2. (@red).

 

Kontributor : Rifki Abrori (Mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Ayo ngopas ya!!!!