UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran Dinilai Mengancam Kebebasan Pers Penyiaran dan Kreativitas di Ruang Digital
Bangkalan | Kabarmetronews.com – UU (Undang Undang) Penyiaran saat ini belum dapat dijalankan dengan maksimal dan masih banyak ditemui permasalahan dalam penerapan UU tersebut. Permasalahan ini kemudian mengakibatkan belum terciptanya kepastian hukum bagi masyarakat dalam melakukan kegiatan penyiaran.
Permasalahan yang dimaksud yakni permasalahan dalam UU Penyiaran perlu direvisi atau tidak dan problematik UU Pres No. 40 tahun 1999 tujuan dan Kegunaan.
Adapun tujuan dari penulisan ini yaitu untuk mengkaji mengenai urgensi dari perubahan UU Penyiaran dan juga sebagai masukan dalam pembahasan perubahan UU Penyiaran dan UU Pres.
Terdapat perluasan cakupan wilayah penyiaran dari media konvensional seperti TV dan radio, menjadi penyiaran digital. Alhasil, latform digital layanan over the top (OTT) atau tv streaming seperti Netflix dan platform lainnya harus tunduk pada UU Penyiaran yang baru.
DPR terus mematangkan pembahasan revisi UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Namun dikhawatirkan nasib RUU tentang Penyiaran malah berpotensi mengekang hak publik dalam mengakses konten penyiaran yang beragam. Karenanya dibutuhkan pendalaman lebih jauh.
Yovantra menegaskan perubahan ini dinilai mengancam kebebasan pers penyiaran dan kreativitas di ruang digital. Ketua dewan pers, Ninik Rahayu juga menegaskan bila RUU nanti diberlakukan, maka tidak akan ada independensi dan pers menjadi tidak profesional.
“Penyusunan RUU tersebut yang tidak sejak awal melibatkan Dewan Pers dalam proses pembuatanya. Selain itu, pengaturan secara luas tersebut menimbulkan permasalahan karena terdapat perbedaan karakteristik media dan teknologi,” katanya.
“Memasukkan platform digital dalam definisi penyiaran membuat konten digital harus patuh pada aturan-aturan yang sama dengan aturan TV konvensional, padahal medium dan teknologinya berbeda,” imbuhnya.
Menurut dirinya, Ini tidak tepat karena platform digital memiliki logika teknologi yang berbeda dengan TV atau radio terestrial. salah satu yang menjadi perhatian dalam draf RUU Penyiaran yaitu ketentuan Pasal 56 ayat (2) yang berisi larangan atas berbagai jenis konten penyiaran, baik konvensional maupun digital.
Lebih lanjut Ia mengungkapkan bahwa larangan-larangan ini mencakup tayangan terkait narkoba, perjudian, rokok, alkohol, kekerasan, atau unsur mistik. Beberapa jenis konten yang dilarang pun dinilai multi-interpretasi, sehingga rentan untuk digunakan secara semena-mena.
“Larangan-larangan ini berpotensi mengekang hak publik untuk mendapat konten yang beragam. Padahal di platform digital publik memiliki agensi lebih besar untuk memilih dan menyaring tontonan, berbeda dengan penyiaran konvensional. draf RUU Penyiaran memuat larangan atas tayangan yang menampilkan suatu profesi atau tokoh yang memiliki perilaku atau gaya hidup negatif, dan larangan atas rekayasa negatif informasi dan hiburan,” tegasnya.
Ketentuan ini sangat multitafsir, dan oleh karenanya berpotensi disalahgunakan. Sementara itu, Pengurus Nasional Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Bayu Wardhana menyampaikan konsekuensi lain dari perluasan dalam RUU Penyiaran adalah kewajiban produk jurnalisme penyiaran untuk tunduk pada aturan KPI. Hal ini dinilai dapat menyebabkan tumpang tindih kewenangan.
Sebab selama ini produk jurnalisme diatur dan diawasi oleh Dewan Pers sebagaimana mandat UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers. Pada pasal 25 ayat 1 huruf q disebutkan wewenang menangani sengketa jurnalistik hanya oleh KPI.
Padahal selama ini kasus sengketa jurnalistik di penyiaran selalu ditangani oleh Dewan Pers. Draf RUU Penyiaran mempunyai tujuan mengambil alih wewenang Dewan Pers dan akan membuat rumit sengketa jurnalistik, Selain itu, Pasal 56 ayat (2) dalam draf RUU Penyiaran juga memuat larangan atas penayangan eksklusif jurnalistik investigasi (huruf c), sehingga klausul ini dinilai dapat mengancam kebebasan pers. Pasal ini membingungkan.
Mengapa ada larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi? Tersirat ini membatasi agar karya jurnalistik investigasi tidak boleh ditayangkan di penyiaran. Sebuah upaya pembungkaman pers sangat nyata. proses RUU Penyiaran dinilai terburu-buru dan tidak transparan. Selain itu, pasal 28E ayat 3 menyatakan.
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sedangkan pasal 28F juga menyatakan setiap orang berhak untuk komunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengelolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia,” tegasnya.
Bayu mengingatkan bahwa draf RUU harus dibahas ulang dengan melibatkan lebih luas aktor mengingat masih terdapat banyak pasal bermasalah yang berpotensi mematikan kreativitas di ruang digital. Dia mengatakan, pasal yang mengancam kebebasan pers pun perlu segera dicabut.
Pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers harus dihapus dari draft RUU ini. Jika hendak mengatur karya jurnalistik di penyiaran, sebaiknya merujuk pada UU Pers No 40/1999. Pada konsideran draft RUU ini sama sekali tidak mencantumkan UU Pers, Anggota Komisi I DPR RI Dave Akbarshah Fikarno menilai bahwa UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang eksis saat ini belum mengakomodasi perkembangan teknologi terbaru.
Maka dari itu, RUU Penyiaran menjadi suatu hal yang urgen. Terlebih, revisi UU 32/2002 telah lama tertunda. UU penyiaran yang disahkan pada tahun 2002 belum mengakomodasi perkembangan teknologi saat ini. Sejak tahun 2011 atau 2012, upaya revisi terus berjalan tanpa titik terang. (@red).
Kontributor : Nur Lailatul Istikomah Mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura (UTM).